Home Survey Nasional Survei Kuliah S2-S3: Mahasiswa Tak Cukup Uang untuk Makan-Gagal Lulus

Survei Kuliah S2-S3: Mahasiswa Tak Cukup Uang untuk Makan-Gagal Lulus

by Salma Hasna
0 comment

Cek Survey – Krisis biaya hidup menyebabkan mahasiswa jenjang S2 dan S3 di berbagai negara mengalami kesulitan keuangan. Kondisi ini menjadi salah satu temuan dalam survei platform publikasi riset Nature 2022 baru-baru ini.

Hasil survei Nature mendapati, 85 persen mahasiswa pascasarjana di dunia mengkhawatirkan apakah uangnya cukup untuk membeli makan, membayar uang sewa tempat tinggal, membayar biaya hidup lainnya.

Hampir setengah (45 persen) dari total 3.200 responden mahasiswa S2-S3 juga setuju bahwa naiknya biaya hidup berisiko membuat mereka putus kuliah.

Kekhawatiran tentang masalah keuangan terutama merebak di tengah mahasiswa wilayah Amerika Utara. Tiga perempat (76 persen) responden mendapati bahwa biaya hidup menjadi masalah utama untuk lulus kuliah.

banner

Berdasarkan catatan Nature, inflasi di Amerika Serikat mencapai 8,2 persen per September 2022. Sementara itu, indeks harga konsumen di Inggris naik 10.1 persen selama 12 bulan terakhir. Kondisi ini diperkirakan tidak segera membaik dalam waktu dekat.

Para mahasiswa juga mengaku kesulitan melanjutkan pendidikan sampai lulus sambil berusaha mencukupi kebutuhan hidup.

“Sulit untuk fokus pada penelitian, pembelajaran, mentorship, menulis makalah, dan mendaftar untuk program hibah ketika saya tidak punya cukup uang untuk makanan,” tulis mahasiswa PhD Biologi di Amerika Serikat pada survei tersebut, dilansir dari laman Nature.

Baca Juga : Hasil Survei Uji Laik Ramp 7 Tol Cengkareng–Batuceper–Kunciran

Kerja sambil Kuliah

Hampir satu dari empat mahasiswa S2-S3 bekerja sambilan, berdasarkan survei Nature ini.

Sebanyak 64 persen di antaranya mengaku untuk bantu membayar biaya hidup dan pemasukan tambahan sambil merampungkan perkuliahan.

Sementara itu, 13 persen lainnya mengaku kerja sambilan untuk mengembangkan skill tambahan, dan 22 persen lainnya beralasan lain-lain.

Berdasarkan daerah studi, sebanyak 57 persen mahasiswa pascasarjana di kawasan Australasia memilih untuk kerja sambil kuliah, disusul 53 persen mahasiswa di Afrika, 39 persen di Amerika Selatan, 23 persen di Amerika Utara dan Tengah, 19 persen di Eropa, dan 13 persen di Asia.

Nathan Garland, matematikawan di Griffith University, Brisbane, Australia menuturkan, para mahasiswa juga kerap mengajar untuk bisa membayar biaya hidup sehari-hari.

“Universitas-universitas jadi bisa menggunakan tenaga kerja lebih murah ketimbang merekrut staf permanen,” katanya.

Ia merinci, biaya hidup mahasiswa pascasarjana di Australia setara dengan dua pertiga upah minimum nasional di sana. Kondisi ini menyebabkan banyak mahasiswa terpaksa mencari-cari pekerjaan di kampus untuk pemasukan tambahan.

“Beberapa juga jadi sopir Uber atau bekerja di kios pizza,” terangnya.

Kecenderungan kerja sambilan ini terutama dilakukan oleh mahasiswa S2 (31 persen). Kondisi ini diperkirakan karena uang yang mereka peroleh, termasuk dari beasiswa, seringkali lebih kecil dari mahasiswa PhD.

Di samping itu, aturan mahasiswa S2 untuk mengambil kerja sambilan relatif lebih fleksibel ketimbang mahasiswa S3.

Baca Juga : Survei LSN: Kenaikan Harga BBM Kurangi Kepercayaan Publik ke Jokowi

Kuliah di Kota dengan Biaya Hidup Tinggi

Di India, mahasiswa S2 dan S3 cenderung terpaksa tinggal di kota-kota dengan biaya hidup tinggi karena kampus-kampus terbaik berada di area metropolitan.

“Kampus-kampus bagus ada di area metropolitan, tepat di daerah keramaian dan hiruk-pikuk,” kata ekolog sosial Amit Kurien.

Mahasiswa PhD di Boston University, Massachusetts Carly Golden juga menuturkan kesulitan kuliah di kampus yang terletak di salah satu kota termahal di Amerika Serikat.

“Saya menghabiskan lebih dari 60 persen uang gaji untuk biaya sewa tempat tinggal” kata Golden.

Sebagai mahasiswa PhD, Golden memperoleh uang gaji 40 ribu dollar (sekitar Rp 625,7 juta) per tahun. Sementara itu, biaya hidup satu orang di Boston berdasarkan kalkulator Massachusetts Institute of Technology yaitu 47 ribu dollar (sekitar Rp 735,2 juta) per tahun.

“(Pemasukannya) sudah mendekati tingkat kemiskinan di Boston,” kata Golden.

Ia menuturkan, dirinya bisa saja menghemat dengan hidup bersama beberapa roommates. Namun, Golden mengaku butuh ruang dan ketenangan agar bisa belajar dengan baik.

Sementara itu, ia juga punya pilihan untuk pindah ke tempat tinggal di pinggiran kota yang lebih murah. Namun, untuk ke laboratorium kampus dari tempat tinggalnya yang sekarang saja butuh 1 jam perjalanan.

“Andai saya bisa mendaftar lagi di sebuah prodi, saya sepertinya akan kuliah di negara bagian yang lebih terjangkau (biayanya),” tutur Golden.

Baca Juga : Usung Anies Baswedan jadi Capres, NasDem: Jika Dianggap Salah, Kami Tanggung Jawab di 2024

Dapatkan informasi terupdate berita polpuler harian dari ceksurvey.com Untuk kerjasama lainya bisa kontak email tau sosial media kami lainnya.

You may also like

Leave a Comment